KALA MEMASUKI USIA SENJA, Mengkudu tidak seperti manusia dalam urusan
rupa. Banyak ditemui manusia yang masih rupawan. Lekuk wajahnya, tekstur
kulitnya, kencang, tak ada kerutan di muka, Masih sedap dipandang,awet muda, kita sering bilang orang tua yang seperti
itu
Berbeda dengan mengkudu. hampir semua ke elokan
di masa mudanya tak terlihat lagi ketik buah ini telah berumur. Mengkudu tua
tak pernah ada yang rupawan. Mereka jadi peot, putih pucat, kusam. Banyak bintik bintik kecoklatan. Tak
ada menariknya sama sekali. Baunya pun menyengat, idak biasa. Seperti bau
jengkol atau pete, punya karakter khusus, yang tak semua orang terbiasa
menciumnya. Seperti pesing tapi ada sengatan segar, bagi saya ketika menghirup
permukaan kulitnya.
Mengkudu,mengingatkan
saya akan Ayah. Maksimal seminggu dua kali beliau minta disiapkan mengkudu dari
Soreang. Kebetulan pohonnya ada disana. Dikirim satpam dengan motor, jus datang
ke Bandung. Langsung Ayah habiskan dalam beberapa sedotan, diselangi tahan
nafas beberapa saat, untuk menghindari aromanya. Lalu hidangan colenak—yang
sengaja selalu disiapkan juga—langsung beliau lahap segera. Untuk menyeimbangi
after taste pahang dan kesat di mulut dan, katanya. Begitu kebiasaan Ayah saat menikmati jus
mengkudu. Seperti terpaksa untuk diminum. tetapi beliau sadar betul akan
manfaatnya, Besar pengaruh mengkudu untuk kebugarannya. Seperti terpaksa
tetapi beliau sadar akan manfaatnya.
Sangat berpengaruh besar jus mengkudu untuk kebugarannya. Meningkatkan
sistem kekebalan tubuh, karena pekerjaan luar lapangan menjadi salah satu hobi
beliau.
Aktifitas minum jus Ayah ini masih jadi pergunjingan di keluarga besar
kami. Membayangkan rasanya masih selalu jadi misteri. Kedatangan jus mengkudu,
horor bagi orang di rumah. Ibu saya pun
emoh untuk sekedar pegang juice cup-nya, haha. Geli sendiri sebenarnya drama
menahun yang diciptakan mengkudu di keluarga kami.
Selama ini juga saya tak mau bersentuhan dengan mengkudu. Saya masih
menilai rupa. Dilupakan, untuk menilai sendiri dulu saja rasa, tanpa harus
mengenalnya. Saya jadi seolah menolak ragam pemberiaan Tuhan. Pandangan
keberagaman acapkali tak sadar di tutupi sendiri dengan membangun segera
perisai di depan. Mengkudu dipergunjingkan. Kami mengolok, menebak nebak
keburukannya. Dan sampailah saya menemukan konsepnya.
Hancurkan mengkudu yang sudah tua dengan cara apapun. Diperas dengan
tangan kosong, atau ditumbuk di dalam cocktail shaker. Beri air mineral atau es
batu. Kemudian aduk, atau kocok. Saring dengan strainer. Wadahi sarinya. Buang
bijinya, sertakan ampasnya untuk mendapatkan tekstur. Boleh-lah memakai sedikit
madu, untuk nanti diaduk saat sedang meminumnya.
Berburuk sangka lagi, saya. Kali ini kepada buah mengkudu. Setelah
mencicipi rasanya di tegukan pertama, sekejap, langsung hilang prasangka rasa
yang selama ini menjadi momok keluarga. Menebak nebak keburukan, malah makin
menjerumuskan kami ke dalam pergunjingan. Saya merasa banyak menghabiskan waktu dengan percuma, jadinya. Memikirkan kerikil, menjadikan saya kerdil. Malu. merasa dosa atas nama sendiri dan keluarga. Prasangka selalu membayangi kami, manusia. Dampak dari prasangka menjadikan kami cari-cari kesalahan dan kejelekan orang. Energi banyak terbuang.
Rupa-rupanya, perbedaan rupa, ternyata, selalu ada dalam pandangan kehidupan kita, keluarga, satu darah. Bagaimana jika ini memang masih terjadi dalam satu negara, yang bersuku-suku. Satu bangsa. That's lame brothers. — (P)
x
x