23/02/18

Prasangka Buruk ke Mengkudu



KALA MEMASUKI USIA SENJA, Mengkudu tidak seperti manusia dalam urusan rupa. Banyak ditemui manusia  yang masih rupawan. Lekuk wajahnya, tekstur kulitnya, kencang, tak ada kerutan di muka, Masih sedap dipandang,awet  muda, kita sering bilang orang tua yang seperti itu
Berbeda dengan mengkudu. hampir semua ke elokan di masa mudanya tak terlihat lagi ketik buah ini telah berumur. Mengkudu tua tak pernah ada yang rupawan. Mereka jadi peot, putih pucat,  kusam. Banyak bintik bintik kecoklatan. Tak ada menariknya sama sekali. Baunya pun menyengat, idak biasa. Seperti bau jengkol atau pete, punya karakter khusus, yang tak semua orang terbiasa menciumnya. Seperti pesing tapi ada sengatan segar, bagi saya ketika menghirup permukaan kulitnya.
Mengkudu,mengingatkan saya akan Ayah. Maksimal seminggu dua kali beliau minta disiapkan mengkudu dari Soreang. Kebetulan pohonnya ada disana. Dikirim satpam dengan motor, jus datang ke Bandung. Langsung Ayah habiskan dalam beberapa sedotan, diselangi tahan nafas beberapa saat, untuk menghindari aromanya. Lalu hidangan colenak—yang sengaja selalu disiapkan juga—langsung beliau lahap segera. Untuk menyeimbangi after taste pahang dan kesat di mulut dan, katanya.  Begitu kebiasaan Ayah saat menikmati jus mengkudu. Seperti terpaksa untuk diminum. tetapi beliau sadar betul akan manfaatnya, Besar pengaruh mengkudu untuk kebugarannya. Seperti terpaksa  tetapi beliau sadar akan manfaatnya.
Sangat berpengaruh besar jus mengkudu untuk kebugarannya. Meningkatkan sistem kekebalan tubuh, karena pekerjaan luar lapangan menjadi salah satu hobi beliau.
Aktifitas minum jus Ayah ini masih jadi pergunjingan di keluarga besar kami. Membayangkan rasanya masih selalu jadi misteri. Kedatangan jus mengkudu, horor bagi orang di rumah.  Ibu saya pun emoh untuk sekedar pegang juice cup-nya, haha. Geli sendiri sebenarnya drama menahun yang diciptakan mengkudu di keluarga kami.

Selama ini juga saya tak mau bersentuhan dengan mengkudu. Saya masih menilai rupa. Dilupakan, untuk menilai sendiri dulu saja rasa, tanpa harus mengenalnya. Saya jadi seolah menolak ragam pemberiaan Tuhan. Pandangan keberagaman acapkali tak sadar di tutupi sendiri dengan membangun segera perisai di depan. Mengkudu dipergunjingkan. Kami mengolok, menebak nebak keburukannya. Dan sampailah saya menemukan konsepnya.
Hancurkan mengkudu yang sudah tua dengan cara apapun. Diperas dengan tangan kosong, atau ditumbuk di dalam cocktail shaker. Beri air mineral atau es batu. Kemudian aduk, atau kocok. Saring dengan strainer. Wadahi sarinya. Buang bijinya, sertakan ampasnya untuk mendapatkan tekstur. Boleh-lah memakai sedikit madu, untuk nanti diaduk saat sedang meminumnya.

Berburuk sangka lagi, saya. Kali ini kepada buah mengkudu. Setelah mencicipi rasanya di tegukan pertama, sekejap, langsung hilang prasangka rasa yang selama ini menjadi momok keluarga. Menebak nebak keburukan, malah makin menjerumuskan kami ke dalam pergunjingan. Saya merasa banyak menghabiskan waktu dengan percuma, jadinya. Memikirkan kerikil, menjadikan saya kerdil. Malu. merasa dosa atas nama sendiri dan keluarga. Prasangka selalu membayangi kami, manusia. Dampak dari prasangka menjadikan kami cari-cari kesalahan dan kejelekan orang. Energi banyak terbuang.


Rupa-rupanya, perbedaan rupa, ternyata, selalu ada dalam pandangan kehidupan kita, keluarga, satu darah. Bagaimana jika ini memang masih terjadi dalam satu negara, yang bersuku-suku. Satu bangsa. That's lame brothers.  — (P)
x



19/08/17

Oleh-Oleh Dari Dunkrik


CREDIT: GETTY

MENCEKAM. SEPANJANG PERJALANAN Dunkrik, saya dan istri berusaha sekuat tenaga melawan keinginan bicara, untuk berkomentar. Kami dibuat duduk dalam diam, untuk memperhatikan. Mungkin hanya “Argh!”dan “Gila!” yang terucap terus-menerus keluar dari mulut. Christopher Nolan mampu mempertahankan ketegangan dramatis alur cerita.

Tepuk tangan dari kami, untuk Dunkrik. Sebuah film fiksi yang dibuat dari peristiwa nyata pada akhir Mei dan awal Juni 1940 di Dunrik, pesisir Prancis. Cerita potongan sejarah yang gelap ditampilkan dengan sangat berkilau. Emosional. Menyentuh perasaan; mengharukan. Beberapa kali, aliran mata menghiasi wajah kami berdua. Keindahan visual yang sepi. Bisu. tak tergesa-gesa; tenang; santai, namun memicu deg-deg-an dengan menawan.

Dunkirk adalah tentang penderitaan dan keberanian. Tentang individu yang kurang peduli diri mereka sendiri demi kebaikan yang lebih besar. Mereka merindukan pulang. Ke rumah. Ke dalam kenyamanannya. Untuk terus hidup. Dan menjalankan kembali kehidupannya.

CREDIT: GETTY

Selepas keluar bioskop Twenty One, tak hentinya saya dan istri terus membahas apa yang baru saja kami saksikan. Saya memprediksi film ini bakal banyak masuk nominasi Oscar dua ribu delapan belas nanti. Istri saya bertanya, “Mana Tom Hardy-nya ya?”. Saya pun baru ingat. Iya, sempat sekilas baca review di koran, Hardy berperan di film ini, tapi peran yang mana, saya tidak ngeh. Pun saya lupa memperhatikan siapa saja aktor-aktor lain yang ikut bermain peran. Kami berdua hanyut ke tengah-tengah Drunkik, sampai membuat kami tidak memperhatikan nama-nama penokohannya.

Di  perjalanan pulang, saya izin mau berbelok arah dulu. Terlintas tiba-tiba ingin membeli stroberi. Namun istri malah bertanya, “Itu siapa saja ya yang berperan. Agak familiar sama satu orang itu, Pap. Lupa...”.

Tiba di toko langganan, stoberi yang ada semuanya imporan. Heran. Tidak biasanya stoberi lokal absen tampil di rak buah-buahan. Harus jemput anak di rumah kakak, saya jadi tak sempat mencari stroberi di lain tempat. Perjalanan pulang kami lanjutkan. Hari semakin sore. Ternyata di area sekitar tempat kami tinggal pun stoberi lokal memang sedang sulit ditemukan. Apa sebabnya, tidak lantas saya pikirkan. Minta petik di lahan sebelah bisa dilakukan jika saja saya sedang berada di Soreang.

12/08/17

Mengungkep, Bukan Mengumpat




“Beli satu ekor ayam pejantan hidup ukuran besar, minta potong menjadi delapan bagian. Ambil bagian dalamnya juga, pap. Ati, usus, ampela. Jangan lupa cekernya diminta. Atau beli lebih banyak cekernya deh. Ragasastra doyan soalnya. Sampai rumah, bersihkan. Lumuri dengan perasan air lemon supaya tidak amis. Diamkan selama lima belas menit, cuci kembali.”

07/08/17

Menghayati Tumbuhan



Tuhan menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tak serupa rasanya. Dia menyuruh untuk memakan buahnya apabila tumbuhan berbuah. Dengan kehendak-Nya juga manusia dihidupkan. Diberikan-Nya alam, beserta isi yang berlimpah. Supaya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh kita, manusia. Umat-Nya.

Tumbuhan menjadi materi dasar bagi terjadinya kehidupan di bumi. Tumbuhan hanya ditemukan di bumi yang mempunyai cadangan air. Tumbuhan diturunkan ke bumi untuk keuntungan manusia dan hewan. Dia menciptakan tumbuhan sebagai sumber makanan bagi makhluk hidup-Nya.

31/07/17

Memaknai Air



Dari langit, Dia turunkan air yang memberi berkah, lalu ditumbuhkanlah dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Maka di keluarkan-Nya tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Di keluarkan-Nya dari tanaman yang menghijau itu butiran yang melimpah. Kita sebagai makhluk hidup saangat memerlukan juga unsur organik ini. Supayqa tubuh dapat menjalanan tugas dan fungsi alaminya sebagai manusia. 

29/07/17

Membekali Ragasastra



Kaget dan kecewa rasanya membaca paparan Tempo minggu ini. Yohanes Surya menghiasi lembaran liputan khusus kriminalitas. Dia dituding menyebarkan KTA bekedok beasiswa dan student loan kepada ratusan orang tua siswa Universitas Surya.

Angan-angan pak Surya menjadikan universitasnya sebagai kampus besar seperti Harvard University mungkin kini hanya mimpi yang mati. Ternyata, dari dua tahun beroperasi, STKIP Surya sudah berjalan lunglai. Kepintaran ilmu fisika dan visi-ambisi Yohanes Surya tak dibandingi dengan cara dia berstrategi. Secara bisnis dan keuangan yang dikelola.

Pak Surya mungkin lupa, kepintaran yang dia miliki tidak dibekali dengan pengalaman kerja sebagai pengusaha, bukan hanya "pembicara". Mungkin ini yang selalu di ingatkan orang tua kita. Ilmu sekolah tak pernah sama dengan realita, dunia kerja. 

27/07/17

Menerima Keadaan



Mujair tak pernah datang dengan ajakan. Menghubunginya, mengharapkannya, sekaligus mempersilahkan berenang leluasa di sebuah  kolam, sama sekali bukan agenda resmi sebagian orang. Ikan ini datang dengan tiba-tiba dan mudah terdeteksi di sudut-sudut kolam, saat kebanyakan mereka masih berwujud anak-anak. Bukan satu, tapi bergerombol. 

Dan mungkin segerombolan anak di suatu sudut hanya berasal dari satu mulut induk. Karena, dia—satu mujair betina—mampu menampung lima puluhan butir telur untuk mengeraminya. Sampai bisa berkali-kali. Tak terbayang, misalnya, ada lima betina, berapa banyak bayi munjair yang akan tumbuh-kembang. Beranjak dewasa, dalam satu kolam air tawar.

20/07/17

Pagi di Bulan Juli



"Saya ingat suasananya, akrab. Empat sampai lima tungku dikerubuti oleh belasan orang yang setia menunggu serabi pesanannya. Asap tembakau, seruputan kopi, gelak tawa, beringingan membuat ritme suara kehidupan pagi sambil disisipi letupan suara kayu bakar. Sementara si emak penjual selalu asik konsentrasi membuat serabi yang hanya mempunyai tiga ragam variasi: polos, oncom, dan yang 'termewah' yaitu: memakai telur. Begitu sederhana. Masih saya ingat kenangan itu." 

Lima tahun yang lalu saya ungkapkan perasaan tersebut, kala menuliskan resep sarapan di catatan Pagi Hari Dengan Serabi.