Pagi yang dingin di tempat tinggal sekarang, selalu mengingatkan saya akan sebuah kenangan—dulu, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, ketika saya hidup di sebuah desa daerah Ciamis—ketika saya diurus nenek-kakek. Udara pagi yang menusuk selalu menimbulkan keinginan untuk mengawali hari dengan sarapan sesuatu yang panas ataupun hangat. Tak jarang, nongkrong di depan tungku (kayu) tetangga penjual serabi, menjadi rutinitas yang lumayan sering saya lakukan kala itu.
Saya ingat suasananya, akrab. Empat sampai lima tungku
dikerubuti oleh belasan orang yang setia menunggu serabi pesanannya. Asap
tembakau, seruputan kopi, gelak tawa, beringingan membuat ritme suara kehidupan
pagi sambil disisipi letupan suara kayu bakar. Sementara si emak penjual selalu
asik konsentrasi membuat serabi yang hanya mempunyai tiga ragam variasi: polos,
oncom, dan yang “termewah” yaitu: memakai telur. Begitu sederhana. Masih saya
ingat kenangan itu.
Kini, agak susah bagi saya untuk menciptakan kenangan itu hadir kembali. Meskipun suasana pedesaan masih didapat, tetapi sampai saat ini saya tidak menemukan suasana di sekitar tungku pembuatan serabi itu. Gelap, penuh kepulan asap pekat, hangat dan nyaman. Sedangkan untuk mendapatkan serabi, dari tempat tinggal sekarang saya harus menempuh perjalanan yang cukup lama menuju kaki gunung dimana serabi yang serupa biasa dijual.
Di kota, ternyata masih
ada beberapa titik-titik “tersembunyi” yang menjual serabi kampung, walaupun
dengan memakai teknik yang sudah tidak tradisional lagi. Biasanya serabi-serabi
itu dibuat dengan menggunakan api dari kompor dan memakai cetakan besi, bukan
dengan cetakan tanah liat. Keberadaannya cukup menghibur dan mengobati rasa
kangen bagi kaum perkotaan yang selalu menyimpan romantika kehidupan lama, termasuk
saya. Kini, serabi tampil dengan
berbagai rasa. Dari yang asin sampai yang manis, semuanya tampil harmonis.
Serabi Tuna
Ternyata membuat serabi
itu tidaklah begitu sulit. Adonannya sangat simple. Cukup menggunakan tepung
beras, terigu, garam, dan santan. Hanya itu. Jadi hal ini sangat memungkinkan
untuk dibuat sendiri di rumah.
100 gram tepung beras
50 gram tepung terigu
200 ml santan kental
(kemasan)
200 ml air mineral panas
½ sendok kecil garam
½ sendok kecil gula pasir
Campurkan santan kental
dengan air panas, aduk hingga merata, lalu diamkan. Tunggu air santan jadi
hangat, masukan tepung beras ke dalam cairan santan, kocok merata selama
kurang-lebih 10 menit hingga mengeluarkan gelembung udara. Diamkan hingga
minimal 1 jam. Setelah adoanan didiamkan,
campurkan tepung terigu sedikit-demi-sedikit, lalu masukan garam dan gula
pasir.
Dalam pembuatan serabi,
diperlukan wajan yang tebal untuk membuat adonan terpanggang dengan baik. Jika
saja mau sedikit ribet, kita bisa memakai cetakan serabi tanah liat yang bisa
dibeli di pasar atau di tukang tembikar. Namun tempat pembakaran ini bisa
diakali dengan menggunakan wajan tebal yang biasa dipakai membuat telor ceplok.
Panaskan wajan kecil
tebal. Tuang adonan ke dalam wajan, beri secukupnya toping yang diinginkan.
Untuk mempermudah, kita bisa memakai berbagai macam makanan kaleng siap saji,
dari daging sapi-ayam-sampai tuna. “Keberhasilan” serabi bisa
diukur dari munculnya rongga-rongga kecil ketika mulai matang. Hal ini
berfungsi juga untuk memperlancar proses kematangan yang ditunjukan juga dengan
mengembangnya si adonan. Kurang lebih dari 5 menit,
serabi akan matang. Sajikan selagi panas dengan taburan gerusan merica hitam.
Saya membuat serabi-serabi kecil ini untuk teman segelas teh di pagi hari. Beberapa serabi kecil sangatlah cukup untuk pengisi amunisi kegiatan sampai siang hari. Nikmat dan penuh nostlagia. — (P)