Kisah ini terjadi beberapa bulan ke belakang. Rencana untuk bulan madu sehari setelah menikah pupus sudah karena terlambatnya saya dan istri bangun kesiangan di hotel. Apa mau dikata, tiket pesawat dan hotel bulan madu kami ikhlaskan untuk bye-bye begitu saja. Menyesal? Tidak. Sepanjang hari menghabiskan waktu bersama istri di kamar hotel tempat kami melangsungkan pernikahan sama saja menyenangkannya dibanding harus jadi tergesa-gesa mengejar pesawat. Mending kalau kekejar, kalau sampai tidak, wah, yang ada hanya akan memunculkan rasa kesal yang luar biasa.
Setelah seharian
“berdiam diri” di kamar hotel, akhirnya kami putuskan untuk pulang ke rumah pada
sore harinya. Rasa lelah pesta kecil semalam sebelumnya membuat kami berniat
untuk mampir dulu ke tukang bubur langganan di daerah Sudirman. Menurut saya bubur
yang mereka jual merupakan bubur jalanan terenak. Dengan tampilannya yang begitu sederhana, hanya bubur, suwiran ayam kampung, dan potongan cakue, bubur ini sangat menawan di lidah. Presentasinya sangat minimalis, simpel. Prinsip
“less is more” benar-benar berlaku di bubur yang juga sudah menjadi langganan
keluarga saya sejak lama. Bubur putih hadir dengan gurih yang tidak berlebih, sangat
klop dengan suwiran ayam kampung yang direbus begitu saja. Rasanya perpaduan
tekstur bubur yang lembut dapat berpadu manis dengan tekstur kasar suwiran ayam.
Aduhai di mulut, hangat di perut.
Namun naas yang
kami alami saat itu. Bayangan akan segala kelezatan bubur Otong itu hancur
sudah manakala kami sampai di tempat jualannya dan ternyata tukang bubur belum
buka. Tetot. Kami hanya dapat menelan ludah sendiri. Glek. Rasanya
kekecewaan kami saat itu jauh melebihi kecewaan kami terlambat bangun di pagi
hari. Semua bayangan akan hangat dan kenyangnya perut kami jauh lebih penting
dari segalanya. Semuanya sudah diubun-ubun. Bayangkan.
“Ini ada oatmeal, sayang,” sahut istri. Ah, oatmeal. Semenjak saya meninggalkan gym berbulan-bulan lamanya, rasanya oatmeal tidaklah lagi menarik bagi lidah saya. Hambar, lembek, tak berasa.
“Aku bisa masak bubur dengan oatmeal ini,” lanjut istri.
Ha, bubur dari oatmeal? Ya. Bubur yang dibuat dari oatmeal. Hmm, cukup masuk akal ternyata. Mudah namun meriah. Semenjak kejadian itu, akhirnya bubur oatmeal cukup sering hadir di meja makan rumah kami setiap pagi. Saya ketagihan.
Pembuatannya sangat gampang. Cenderung memakai bahan-bahan yang bisa dijumpai di rumah sendiri. Untuk side-dish nya tidak selalu harus memakai suwiran ayam. Berbagai macam pilihan side-dish lainnya dapat dengan mudah dibeli di pasaran; daging asap, ayam asap, sampai udang asap.
200 ml air kaldu
4-5 sendok makan oatmeal
Segenggam daun bayam
2 lembar daun salam
1 batang sereh, geprek
1 butir telur ayam
Masukan 200 ml air ke dalam panci dengan sesendok kaldu cair, panaskan di atas kompor berapi kecil. Biarkan mendidih sesaat, lalu masukan oatmeal, aduk.
Sementara itu, rebus telur kurang-lebih selama 10 menit dan rebus beberapa saat daun bayam.
Setelah dirasa cukup mengental dan membentuk tekstur bubur, pindahkan bubur oatmeal tersebut ke sebuah wadah makan, sisihkan lembaran daun salam dan batang serehnya. Tambahkan rebusan telur, rebusan daun bayam, dan goreng bawang. — (P)
2 lembar daun salam
1 batang sereh, geprek
1 butir telur ayam
Masukan 200 ml air ke dalam panci dengan sesendok kaldu cair, panaskan di atas kompor berapi kecil. Biarkan mendidih sesaat, lalu masukan oatmeal, aduk.
Sementara itu, rebus telur kurang-lebih selama 10 menit dan rebus beberapa saat daun bayam.
Setelah dirasa cukup mengental dan membentuk tekstur bubur, pindahkan bubur oatmeal tersebut ke sebuah wadah makan, sisihkan lembaran daun salam dan batang serehnya. Tambahkan rebusan telur, rebusan daun bayam, dan goreng bawang. — (P)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar