
Sebuah persahabatan terjalin di Hyde Park, New York. Kini mereka di Jakarta. “Semua harus terlaksana,” begitu ambisinya.
“FIRST
OF ALL, THIS IS OUR HOMELAND,” Ivan
Wibowo mengatakan itu dengan tenang, ketika ditanya alasannya pulang ke
Indonesia. “Secondly, I was intrigued by a question from buddy of mine: ‘What is the best restaurant in Indonesia that I
would love to try?’ That moment I can’t give any answer. Comfort food?
Street food? But Indonesian restaurant? Where? I can’t think of any Indonesian
restaurant in Indonesia. I completely don’t know the answer to that kind of
question. So my dream is to make Indonesia more accessible in terms of produce
for chef like us. So that we can see more things, play with it and putting
creativity into it. That one day I can see a restaurant that stands for ‘The Best
Restaurant in Indonesia’. Shall we?”
Amen, brother, saya turut berdoa.
Perkenalan saya
dengan Ivan Wibowo terjadi pada sebuah jamuan makan malam yang dibuat oleh
majalah gaya hidup, beberapa tahun yang lalu. Perawakannya mungil, wajahnya muda.
Kedatangannya ke Jakarta membuat geger beberapa jiwa. “Ada seorang Indonesia
yang baru saja pulang bekerja dari Noma!” Begitu bunyi gonjang-ganjingnya. “97%
lucky, 3% effort,” ujarnya—terdengar seperti bercanda—ketika ditanya kenapa dia
bisa bekerja di Noma. “If I get a chance to live twice maybe won’t be end up at
Noma. Just miracles from God, I don’t know what happened, man.”
Begitu
sederhana, apa adanya, dan tenang. Raut mukanya selalu tersenyum ketika Ivan
bicara. Semua romantika bekerjanya di dapur-dapur termansyur tak lantas menjadi
buaian berkepanjangan bagi seorang Ivan. Pria lajang ini terlihat lebih
peduli dengan apa yang sedang dilakukannya sekarang. Merintis. Membangun.
Menyebar-luaskan apa yang menjadi pemikiran-pemikirannya mengenai masakan. Di
Indonesia. Ya, Indonesia, tanah kelahirannya. Maka, lahirlah Good For Eats
(G48). Buah karya dari Ivan Wibowo dengan sahabatnya; Fernando.
FERNANDO SINDU,
begitu nama lengkapnya. Ivan mengenalkan kepada saya sebagai sahabat sekaligus
partnernya di Good
For Eats (G48). Terdengar ada
sebuah statement dalam nama itu. Saya merasakannya. Sama seperti saya merasakan
ada sengatan nasionalis disaat mereka membicarakan hal ini. Ivan dan Fernando
membuat sebuah private dining dengan (berusaha) memakai bahan-bahan yang
sebagian besar dari produsen lokal.
“Kami ingin
sedikit menyadarkan cara pandang orang Indonesia yang terkadang senang sekali
dengan yang namanya impor dari luar negeri. Padahal di Indonesia itu tidak kalah hasil pertaniannya dengan yang di
luar negeri. We have volcanic soil all around Indonesia and of course tanahnya
subur sekali. Saya bisa melihat pertanian di Indonesia bisa lebih berkembang
lagi,” papar Fernando panjang lebar. “Kami sudah bekerja di 3 benua. Kami ingin
apa yang pernah kami see, smell, and taste, juga bisa dijumpai di Indonesia,”
lanjutnya. Saya sangat setuju akan hal itu, meskipun untuk sekarang tidak mungkin terjadi di Indonesia, tetapi bukan tidak mungkin bisa terjadi pada 10-15 tahun mendatang.
“Tidak usah jauh-jauh, Thailand saja yang punya iklim agak mirip dengan Indonesia, bisa maju pesat pada sektor pertaniannya. Mereka bisa ekspor kemana-mana. Apakah Indonesia yang mempunyai 220 juta jiwa, tidak bisa? It is very intriguing for us. We grow same produces, everthing, but even we still do import from them!”
Inilah semangat yang terpancar dari Ivan dan Fernando. Saya menyukainya. Perjalanan hidup mereka, loncat dari satu negara ke negara lainnya, tidak serta-merta meroketkan jiwa mereka jauh meninggalkan rumah. Mereka masih bisa berpijak, dan menyadarinya, bahwa kaki yang mereka kayuh sudah semestinya selalu menapaki tanah.
Inilah semangat yang terpancar dari Ivan dan Fernando. Saya menyukainya. Perjalanan hidup mereka, loncat dari satu negara ke negara lainnya, tidak serta-merta meroketkan jiwa mereka jauh meninggalkan rumah. Mereka masih bisa berpijak, dan menyadarinya, bahwa kaki yang mereka kayuh sudah semestinya selalu menapaki tanah.
Mereka sadar
betul pertanian Indonesia sangat-sangat bisa lebih dimaksimalkan lagi. Hanya
saja peranan pemerintah yang tidak seimbang membuat keadaan seperti itu jadi
seperti tampak tidak memungkinkan. Saya kecewa dengan pemerintah, namun tidak
bagi mereka berdua. Tampaknya mereka
tahu betul tidak akan bisa maju melangkah bila semuanya harus mengandalkan
kesadaran pemerintah.
“Kapan agriculture di Indonesia mau maju if we don’t
care. Nanti kedepannya kita akan ketinggalan sekali dengan negara lain. We do
have land and labor, what else we don’t have. Sorry, will ya excuse me, kalau
ini jadi bicara politik, hehehe.”
Sepertinya
mereka hanya berusaha melakukan apa yang bisa dilakukan, mengolah bahan-bahan
lokal dengan menggunakan teknik-teknik yang tidak biasa dari penguasaannya
selama mereka melanglang-buana. Dan hasilnya tentu menjadi luar biasa.
INGRIDIENTS
AND TECHNIQUE, dua hal ini
yang selalu menjadi headline untuk kinerja mereka di dapur. “Ingridient is
based of the food itself, good ingridients will def result good food. Fresh
vege and fruits dari soil yang baik akan menghasilkan flavours yang better,
lebih manis, crunchy, and flavourful,” ujar Fernando.
“Now kenapa
technique is equally important? Karena kobe beef will taste not good kalau
dimasaknya gosong dan sampai kering, sehingga pockets fats yang ada dalam
daging itu sudah tidak ada. Udang yang manis dan kenyal will not taste good
kalau masaknya over-cook sehingga jadi keras dan tasteless. Now you might ask
how bout flavouring? Flavouring also important karena itu manipulasi rasa. So
if ingridients dan technique is good, the food will still good even without
flavouring macam-macam,” lanjut Fernando.
Bahwa keyakinan
mereka dalam menemukan bahan-bahan makanan bisa dengan mudah ditemukan di
Indonesia, namun tidak dengan kemampuan mereka dalam memiliki teknik. Semuanya
mereka dapat dengan kerja keras, ketekunan, dan pengalaman. Tidaklah mudah
untuk itu.
CULINARY
INSTITUTE OF AMERICA adalah sebuah tempat dimana Fernando dan Ivan bersekolah.
Namun sebelumnya mereka berasal dari bidang ilmu yang bertolak-belakang. “Dulu
ambil computer science, terus tidak suka, langsung pindah jadi food tech, eh
ndelalahe skolah chef sisan. Ndadii malaaa!” kelekar Ivan.
Tidak berbeda
dengan Ivan, latar-belakang Fernando yaitu seorang murid general science di Canada yang melanjutkan ke
computer science di New Zealand. “I have to formal training, soalnya at first, parents tidak setuju sekolah perhotelan. Tapi after finishing my degree then I
request to go CIA as part of my ‘master’ degree,” tutur Fernando.
Semenjak
kelulusannya di CIA, Fernando langsung berada di dapur restoran modern French
cuisine kota New York bernama Brasserie 81/2. Untuk menimba ilmu lebih dalam, kemudian
Fernando memutuskan pindah ke sebuah restoran penerima bintang Micheline;
Boqueria, di kawasan super sibuk Soho. Dalam didikan Seamus Mullen ini Fernando
hanya membutuhkan 7 bulan untuk menjadi sous chef dari chef de partie.
Disinilah Fernando merasakan jatuh cinta dengan Spanish tapas. Bagi dia,
masakan Spanyol itu merefleksikan dirinya.
Pengalaman yang
di dapat Fernando, berbeda dengan Ivan. Semenjak lulus, Ivan langsung
ditraining oleh Jean-George di restorannya yang telah menerima 3 Michelin Star
dimana dia secara langsung belajar juga mengenai modern French cuisine juga namun dengan
sentuhan asian flavors. Pria yang waktu kecil menyukai tahu kopyok telor ini
kemudian melanjutkan pengalamannya di sebuah restoran yang sangat terkenal:
Nobu 57. Di tempat itulah Ivan belajar “the Nobu style” dalam membuat makanan
tradisional Jepang sampai ke makanan modernnya.
Lalu Ivan
berpindah ke Australia, disana dia memilih Quay restaurant (Sdyney)
sebagai tempat mencari pengalaman. Kemudian perjalanan Ivan diakhiri di sebuah
restoran yang lebih sangat terkenal lagi bernama Noma, di Conpenhagen, Denmark.
Noma telah mendapatkan predikat bintang Michellin Stars sebagai restoran terbaik seluruh dunia selama 3
tahun berturut-turur, dari tahun 2010. Ivan belajar langsung dari Rene Redzepi, yang sangat ahli dalam
teknik molucar gastronomy. “Sebuah pengalaman luar biasa yang tidak akan pernah dilupakan.”
“If you get chance, you should go for it!”
ujar Ivan ketika saya menanyakan pertanyaan terakhir mengenai sebegitu
pentingnya-kah untuk mempunyai pengalaman bekerja di restoran-restoran penerima
bintang Michelin. “More discipline, for better yourself. And a lot of thing
that you can learn from those Michelin star chefs. But the pressure is big.
Works a lot of hours, less sleep yet you have to bring the best of you every
day.”
Perbincangan panjang ini terekam
jelas di memori komputer jinjing saya. Selama beberapa tahun, tersimpan, tidak
terpublikasikan. Terakhir bertemu, beberapa bulan yang lalu ketika mereka
menjadi guest chefs di sebuah coffee shop kota Bandung. Keramahannya masih sama,
semangatnya masih serupa. Di lain waktu saya akan kembali bercerita tentang kabar terbaru dari mereka. — (P)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar