06/01/14

Lancang

Dua puluh tiga kata yang melukai hati, pemikiran, dan perasaan.

Ilustrasi oleh Esha Satrya

BEGINI BUNYI KALIMATNYA, "Indonesia negeri 1001 kuliner, tapi hanya Sasa yang menyatukannya jadi satu kelezatan. Satu nusa, satu Sasa. Semua pakai Sasa, maknyus! Bagaimana dengan Anda?" Jleb. Rayuan iklan televisi itu seketika menjadi pisau tajam yang terang-terangan menusuk saya dari arah depan. Tepat sasaran. Meninggalkan rasa sakit.

Saya tersinggung. Sebagai apa dan siapa saya sampai tersinggung, saya tidak tahu pasti. Mungkinsetidaknya, karena saya asli Indonesia yang hidup berdampingan dengan segala ragam kulinernya. Mencintai, dan sangat menghargainya. Karena itulah akan terasa wajar kalau saya tersinggung. Ekspresi spontan membela saya kepada masakan nusantara ketika ada yang lancang mengusik.

Pikiran pun berkelana, mencoba mencari berbagai makna dari maksud kalimat itu. Awalnya tidak terlalu jernihmemang, karena sudah ditunggangi rasa kesal. Saya merasa ada nada tuduhan di iklan berdurasi 15 menit tersebut. Menuduh masakan Indonesia yang beragam diikat dalam satu kelezatan yang sama oleh satu bahan bumbu penyedap rasa buatan. Pabrikan. Monosodium Glutamate, dikenal dengan MSG.

Setelah cukup lama memakan hari, berangsur, luka dari tusukan kalimat tajam itu pulih. Pikiran kembali jernih. Saya tersadar bahwa kalimat tersebut bagian dari sebuah iklan. Komersil. Tentunya diperlukan proses serius nan panjang dan tidak sebentar untuk mencapai keputusan apa yang hendak digambarkan dan disampaikan. Iklan yang baik digarap berdasarkan penelitian, terjun ke lapangan, melihat kenyataan. Supaya iklan bisa kena di hati, tepat pasaran, meningkatkan penjualan.
Penggunaan MSG yang satu itu—beserta merek lainnyasudah dianggap serbuk sihir yang bisa membuat masakan lezat dalam sekejap.
Iklan MSG itu harus saya akui berhasil mencapai tujuannya. Saya tidak perlu sampai merepotkan diri dengan melakukan riset tandingan untuk menyangkal apa yang iklan itu sampaikan. Bukannya memang ini sudah menjadi rahasia umum? Penggunaan MSG yang satu itu—beserta merek lainnyasudah dianggap serbuk sihir yang bisa membuat masakan lezat dalam sekejap. Dan harus diakui trik tersebut sudah mendarah-daging di sebagian besar masyarakat Indonesia.

INI MASALAH KEBIASAAN MEMASAK. Ketika merasa ada cara tercepat untuk mencapai hasil masakan yang lezat, lalu kenapa harus berusah-payah membuat kombinasi yang tepat dari ragam bahan bumbu alami? Cukup memakan waktu dan merepotkan. Mungkin begitu pemikiran umumnya.

Ini hanya masalah perut. Lalu kenapa harus begitu direpotkan dengan penggunaaan MSG. Toh tidak membahayakan. Tidak membuat tiba-tiba menjadi mati keracunan. Kehidupan masih bisa dijalankan meskipun setiap hari mengkomsumsi makanan mengandung MSG. Pemerintah sama sekali tidak melarang serbuk ini untuk dijual di pasaran. MSG mempunyai izin dan pembuatannya berdasarkan penelitian yang membuat dia aman untuk dikonsumsi. Perut yang penting kenyang. Mungkin begitu pemikiran umumnya.

Ini masalah rasa. Mulut sudah sangat terbiasa mengecap masakan mengandung MSG. Rasanya ada yang kurang kalau tak pakai. Masakan akan hambar. Karakter kelezatannya sangat khas dan jelas: gurih. Sifatnya adiktif. Membuat kebal indra pengecap. Lidah menjadi tidak peka untuk merasakan ragam bahan bumbu lainnya. Di sebuah hidangan, MSG menguasai rasa masakan secara keseluruhan. Dari awal suapan sampai after taste makan nempel terus di rongga mulut dan membuat bibir terasa kering. Haruskah hal ini dipermasalahkan? Yang penting makan enak. Mungkin begitu pemikiran umumnya.

Ini masalah ketidak-peduliaan. Tidak ada urusan untuk ambil peranan dalam melestarikan masakan Indonesia. Bukan menjadi persoalan dengan tetap memakai bahan bumbu alami ternyata bisa ikut menambah nilai yang lebih dalam terhadap keberadaan masakan Indonesia serta elemen-elemen yang terkaitnya: bahan pangan, bahan bumbu alami, sampai keberlangsungan hidup petani. Mungkin begitu pemikiran umumnya.

KENYATAANYA MEMANG TIDAK MENYENANGKAN bagi saya si anak bangsa yang begitu mencintai masakan nusantara. MSG bagai penyusup yang kehadirannya selalu ada di setiap makanan. Diam-diam dia merusak rasa otentik. Padahal tanpa MSG sedikitpun masakan bisa mencapai puncak kelezatan secara maksimal. "Rahasianya" terletak pada penggunaan bahan-bahan bumbu alami (pun bukan kualitas terbaik) dikombinasikan secara tepat dengan teknik memasak yang baik.

Kehadiran MSG sudah lama sekali hilang dari dapur keluarga saya. Dan setiap saya makan di luar rumah, baik di restoran maupun di warung pinggir jalan, saya selalu meminta untuk tidak ditambahkan serbuk "ajaib" tersebut. Karena I believe that people who work in restaurants lie about using MSGSelesai makan, tak jarang selalu saya katakan ke penjual, "Makanannya tetap enak kok tanpa MSG."

Selain kedua sikap tersebut, saya tidak mempunyai kekuatan apapun untuk melepaskan belenggu MSG pada masakan nusantara. Tambahan sikap lainnya mungkin "hanya" sebuah optimisme. Supaya semakin banyak yang tersadar akan tidak perlunysa MSG. Sebuah harapan besar, suatu saat nanti, semua masakan Indonesia sepenuhnya terhindar dari segala macam merek serbuk MSG. Jika salah satunya hanya bisa menyakiti hati, dengan keberanian, integritas dan optimisme berjamaahyang dibarengi semangat melakukan perubahan—saya yakin bangsa ini bisa sampai membuatnya mati kutu. Semoga. Saya akan selalu berdo'a.  (P)

···